Minggu, 26 Januari 2014

Osteomielitis

     Osteomielitis adalah infeksi tulang yang biasanya disebabkan oleh bakteri, tetapi kadang-kadang disebabkan oleh jamur.

      Jika tulang terinfeksi, bagian dalam tulang yang lunak (sumsum tulang) sering membengkak. Karena pembengkakan jaringan ini menekan dinding sebelah luar tulang yang kaku, maka pembuluh darah di dalam sumsum bisa tertekan, menyebabkan berkurangnya aliran darah ke tulang. Tanpa pasokan darah yang memadai, bagian dari tulang bisa mati. Infeksi juga bisa menyebar keluar dari tulang dan membentuk abses(pengumpulan nanah) di jaringan lunak di sekitarnya, misalnya di otot.

PENYEBAB

Tulang, yang biasanya terlindung dengan baik dari infeksi, bisa mengalami infeksi melalui 3 cara:
  • Aliran darah
  • Penyebaran langsung
  • Infeksi dari jaringan lunak di dekatnya.

       Aliran darah bisa membawa suatu infeksi dari bagian tubuh yang lain ke tulang. Infeksi biasanya terjadi di ujung tulang tungkai dan lengan (pada anak-anak) dan di tulang belakang (pada dewasa).

      Orang yang menjalani dialisa ginjal dan penyalahguna obat suntik ilegal, rentan terhadap infeksi tulang belakang (osteomielitis vertebral). Infeksi juga bisa terjadi jika sepotong logam telah ditempelkan pada tulang, seperti yang terjadi pada perbaikan panggul atau patah tulang lainnya.

      Bakteri yang menyebabkan tuberkulosis juga bisa menginfeksi tulang belakang (penyakit Pott).

     Organisme bisa memasuki tulang secara langsung melalui patah tulang terbuka, selama pembedahan tulang atau dari benda yang tercemar yang menembus tulang.Infeksi ada sendi buatan, biasanya didapat selama pembedahan dan bisa menyebar ke tulang di dekatnya.

       Infeksi pada jaringan lunak di sekitar tulang bisa menyebar ke tulang setelah beberapa hari atau minggu. Infeksi jaringan lunak bisa timbul di daerah yang mengalami kerusakan karena cedera, terapi penyinaran atau kanker, atau ulkus di kulit yang disebabkan oleh jeleknya pasokan darah atau diabetes (kencing manis). Suatu infeksi pada sinus, rahang atau gigi, bisa menyebar ke tulang tengkorak.

GEJALA

        Pada anak-anak, infeksi tulang yang didapat melalui aliran darah, menyebabkan demam dan kadang-kadang di kemudian hari, menyebabkan nyeri pada tulang yang terinfeksi. Daerah diatas tulang bisa mengalami luka dan membengkak, dan pergerakan akan menimbulkan nyeri. Infeksi tulang belakang biasanya timbul secara bertahap, menyebabkan nyeri punggung dan nyeri tumpul jika disentuh. Nyeri akan memburuk bila penderita bergerak dan tidak berkurang dengan istirahat, pemanasan atau minum obat pereda nyeri. Demam, yang merupakan tanda suatu infeksi, sering tidak terjadi.

          Infeksi tulang yang disebabkan oleh infeksi jaringan lunak di dekatnya atau yang berasal dari penyebaran langsung, menyebabkan nyeri dan pembengkakan di daerah diatas tulang, dan abses bisa terbentuk di jaringan sekitarnya. 
Infeksi ini tidak menyebabkan demam, dan pemeriksaan darah menunjukkan hasil yang normal. Penderita yang mengalami infeksi pada sendi buatan atau anggota gerak, biasanya memiliki nyeri yang menetap di daerah tersebut. 

       Jika suatu infeksi tulang tidak berhasil diobati, bisa terjadi osteomielitis menahun (osteomielitis kronis). Kadang-kadang infeksi ini tidak terdeteksi selama bertahun-tahun dan tidak menimbulkan gejala selama beberapa bulan atau beberapa tahun.

        Osteomielitis menahun sering menyebabkan nyeri tulang, infeksi jaringan lunak diatas tulang yang berulang dan pengeluaran nanah yang menetap atau hilang timbul dari kulit. Pengeluaran nanah terjadi jika nanah dari tulang yang terinfeksi menembus permukaan kulit dan suatu saluran (saluran sinus) terbentuk dari tulang menuju kulit.

DIAGNOSA
        Diagnosis berdasarkan gejala-gejala dan hasil pemeriksaan fisik.

         Pada skening tulang dengan teknetium, area yang terinfeksi menunjukkan kelainan, kecuali pada anakanak.
Tetapi hal ini tidak akan muncul pada foto rontgen sampai lebih dari 3 minggu setelah gejala pertama timbul.

CT scan dan MRI juga bisa menunjukkan daerah yang terinfeksi. Tetapi pemeriksaan ini tidak selalu dapat membedakan infeksi dari kelainan tulang lainnya.

Untuk mendiagnosa infeksi tulang dan menentukan bakteri penyebabnya, harus diambil contoh dari darah, nanah, cairan sendi atau tulangnya sendiri. Biasanya untuk infeksi tulang belakang, diambil contoh jaringan tulang melalui sebuah jarum atau melalui pembedahan.

PENGOBATAN

        Untuk anak-anak dan dewasa yang mendapatkan infeksi tulang melalui aliran darah, pengobatan paling efektif adalah antibiotik. Jika bakteri penyebabnya tidak dapat ditentukan, maka antibiotik akan efektif untuk melawan Staphylococcus aureus (bakteri yang paling sering ditemukan sebagai penyebabnya), dan pada beberapa kasus melawan bakteri lainnya. 

         Tergantung kepada beratnya infeksi, pada awalnya antibiotik diberikan secara intravena (melalui pembuluh darah), selanjutnya diberikan per-oral (ditelan) selama 4-6 minggu. Beberapa penderita bahkan memerlukan antibiotik sampai berbulan-bulan. Jika infeksi bisa ditemukan pada stadium awal, biasanya tidak diperlukan pembedahan. Tetapi kadangkadang suatu abses memerlukan pembedahan untuk mengeluarkan nanahnya. 

               Orang dewasa yang mengalami infeksi tulang belakang, biasanya akan mendapatkan antibiotik selama 6-8 minggu, kadang-kadang disertai dengan istirahat total. Mungkin diperlukan pembedahan untuk mengeringkan abses atau untuk menstabilkan tulang belakang yang terkena. 

         Jika infeksi tulang berasal dari jaringan lunak di dekatnya, pengobatannya lebih kompleks. Biasanya semua jaringan dan tulang yang mati diangkat melalui pembedahan, dan ruang kosong yang ditinggalkannya, diisi dengan tulang, otot atau kulit yang sehat. Selanjutnya infeksi diobati dengan antibiotik. Biasanya, suatu sendi buatan yang terinfeksi diangkat dan diganti. 

               Antibiotik diberikan beberapa minggu sebelum pembedahan, sehingga sendi buatan yang terinfeksi tersebut bisa diangkat dan digantikan oleh sendi buatan yang baru. Kadang pengobatan bisa gagal dan infeksinya berlanjut, sehingga diperlukan pembedahan untuk menggabungkan sendi atau mengamputasi anggota gerak yang terkena. Infeksi yang menyebar dari ulkus di kaki karena pasokan darah yang buruk atau karena kencing manis, sering melibatkan sejumlah bakteri dan sulit untuk diobati hanya dengan antibitotik saja, mungkin diperlukan pembedahan untuk mengangkat tulang yang terinfeksi. Pemilihan antibiotik yang digunakan antara lain Nafcillin , Ceftriaxone , Cefazolin , Ciprofloxacin , Ceftazidime , Clindamycin , Vancomycin , Linezolid.

Minggu, 19 Januari 2014

Teknik Radiografi Pada Kasus Atresia Ani

Definisi Atresia Ani
  • Atresia : tidak ada lubang ditempat yang seharusnya berlubang baik karena cacat bawaan maupun terjadi kemudian.
  • Ani dari kata anus yang berarti lubang pelepasan atau dubur.
  • Atresia ani: kelainan tidak adanya lubang pelepasan pada daerah dubur(anus) yang sifatnya bawaan atau muncul kemudian.
Patologi
Atresia ani di klasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria antara lain :
1. Menurut Berdon, membagi atresia ani berdasarkan tinggi rendahnya kelainan, yakni :
a. atresia ani letak tinggi : bagian distal rectum berakhir di atas muskulus levator ani (> 1,5cm dengan kulit luar)
b. Atresia ani letak rendah: distal rectum melewati musculus levator ani ( jarak <1,5cm dari kulit luar).

2. Menurut Stephen, membagi atresia ani berdasarkan pada garispubococcygeal. 
a. Atresia ani letak tinggi : bagian distal rectum terletak di atas garis pubococcygeal.
b. Atresia ani letak rendah: bila bagian distal rectum terletak di bawah garis pubococcygeal.
3. Ladd dan Gross, membagi menjadi 4 type jenis atresia ani
a. Stenosis ani : anus dan rectum ada tetapi menyempit.

b. Imperforatus anus: anus berupa membran.
c. Imperforatus anus dengan kantong rectum berakhir agak tinggi dari kulit peritoneum.
d. Atresia rectum, rectum berakhir buntu dan terpisah dari bagian anal oleh suatu membrane atau jaringan, disini lubang anus ada sehingga dari luar anus tampak normal.
PERSIAPAN PASIEN
Tidak ada persiapan khusus yang harus dilakukan tetapi untuk mendapatkan gambaran yang baik maka sebelum dilakukan proyeksi bayi di letakkan dengan posisikepala berada di bawah dan kaki berada di atas selama +_ 5mnt dengan tetap menjaga kenyamanan pasien.

Tujuan Persiapan
Tujuannya adalah agar udara dalam kolon dapat mencapai rectum bagian distal anal yang di pasang marker sehingga pada foto daerah antara marker dengan bayangan udara yang tertinggi dapat diukur.

PROYEKSI PEMERIKSAAN
1. Proyeksi Wangesteen Rice
A. Posisi AP

Untuk melihat ada tidaknya atresia ani dan untuk melihat beratnya distensi atau peregangan usus. 
  • Posisi Pasien : Pasien diposisikan dalam keadaan inverse ( kepala di bawah, kaki di atas) di depan standart kaset yang telah di siapkan. Kedua tungkai difleksikan 90 terhadap badan untuk menghindari superposisi antara trokanter mayor paha dengan ischii. MSP tubuh tegak lurus kaset.
  • Posisi Objek : Obyek diatur sehingga daerah abdomen bagian distal masuk dalam film., Pada daerah anus di pasang marker.
  • CR: Horisontal tegak lurus kaset.
  • CP: Pertengahan garis yang menghubungkan kedua trokhanter mayor.
  • FFD: 90cm
  • Eksposi dilakukan pada saat pasien tidak bergerak.
B. Posisi Lateral
Untuk melihat ketinggian atresia ani. 
  • Posisi Pasien : Pasien diposisikan dalam keadaan inverse ( kepala di bawah, kaki di atas) dengan salah satu sisi tubuh bagian kiri atau kanan menempel kaset. Kedua paha di tekuk semaksimal mungkin ke arah perut agar bayangan udara pada radiograf tidak tertutup oleh gambaran paha. MSP (mid sagital plane) tubuh sejajar terhadap garis pertengahan film, MCP (mid coronal plane) tubuh diatur tegak lurus terhadap film.
  • Posisi Objek : Obyek diatur sehingga daerah abdomen bagian distal masuk dalam film. Pada daerah anus di pasang marker. 
  • CR: Horisontal tegak lurus kaset.
  • CP: Pada trokhanter mayor.
  • FFD: 90cm 
  • Eksposi dilakukan pada saat pasien tidak bergerak.
2. Lateral Prone Cross Table
Alternatif pemeriksaan invertogram pada kasus atresia ani untuk memperlihatkan bayangan udara di dalam colon mencapai batas maksimal tinggi/ naik di daerah rectum bagian distal.
  • Posisi Pasien : Pasien diposisikan prone.
  • Posisi Objek : kedua paha ditekuk (hip fleksi), angkat bagian punggung bayi sehingga letak pelvis lebih tinggi dan kepala/wajah lebih rendah. Kaset pada salah satu sisi lateral dengan trokhanter mayor pada pertengahan kaset.
Ilustrasi posisi pasien pada Lateral cross table
  • CP: pada trochanter mayor menuju pertengahan kaset.
  • CR: Horisontal, tegak lurus film/kaset.
  • FFD: 90 cm
  • Ekspose dilakukan saat bayi tidak bergerak.
Keuntungan posisi ini :
  • Posisi lebih mudah.
  • Waktu untuk memposisikan lebih singkat.
  • Pasien lebih tenang dan nyaman.
  • Udara pada rectum tampak naik dan lebih tinggi sehingga posisi ini lebih baik.

Sabtu, 18 Januari 2014

Teknik Radiografi Intra Venos Pyelography (IVP)

1. Definisi
Ilmu yang mempelajari prosedur /tata cara pemeriksaan ginjal, ureter, dan blass (vesica urinary) menggunakan sinar-x dengan melakukan injeksi media kontras melalui vena.
  • Pada saat media kontras diinjeksikan melalui pembuluh vena pada tangan pasien, media kontras akan mengikuti peredaran darah dan dikumpulkan dalam ginjal dan tractus urinary, sehingga ginjal dan tractus urinary menjadi berwarna putih.
  • Dengan IVP, radiologist dapat melihat dan mengetahui anatomy serta fungsi ginjal, ureter dan blass.
2.  Tujuan Pemeriksaan IVP
  • Pemeriksaan IVP membantu dokter mengetahui adanya kelainan pada sistem urinary, dengan melihat kerja ginjal dan sistem urinary pasien.
  • Pemeriksaan ini dipergunakan untuk mengetahui gejala seperti kencing darah (hematuri) dan sakit pada daerah punggung.
  • Dengan IVP dokter dapat mengetahui adanya kelainan pada sistem tractus urinary dari :
    • batu ginjal 
    • pembesaran prostat
    • Tumor pada ginjal, ureter dan blass.

3. Indikasi Pemeriksaan IVP
  1. Renal agenesis
  2. Polyuria 
  3. BPH (benign prostatic hyperplasia)
  4. Congenital anomali : 
    • duplication of ureter n renal pelvis
    • ectopia kidney
    • horseshoe kidney 
    • malroration
  5. Hydroneprosis 
  6. Pyelonepritis 
  7. Renal hypertention
4. Kontra Indikasi
  • Alergi terhadap media kontras
  • Pasien yang mempunyai kelainan atau penyakit jantung
  • Pasien dengan riwayat atau dalam serangan jantung 
  • Multi myeloma
  • Neonatus 
  • Diabetes mellitus tidak terkontrol/parah
  • Pasien yang sedang dalam keadaan kolik
  • Hasil ureum dan creatinin tidak normal
5. Persiapan Pemeriksaan
  1. Persiapan Pasien 
    1. Pasien makan bubur kecap saja sejak 2 hari (48 jam) sebelum pemeriksaan BNO-IVP dilakukan.
    2. Pasien tidak boleh minum susu, makan telur serta sayur-sayuran yang berserat.
    3. Jam 20.00 pasien minum garam inggris (magnesium sulfat), dicampur 1 gelas air matang untuk urus-urus, disertai minum air putih 1-2 gelas, terus puasa.
    4. Selama puasa pasien dianjurkan untuk tidak merokok dan banyak bicara guna meminimalisir udara dalam usus. 
    5. Jam 08.00 pasien datang ke unit radiologi untuk dilakukan pemeriksaan, dan sebelum pemeriksaan dimulai pasien diminta buang air kecil untuk mengosongkan blass.
    6. Yang terakhir adalah penjelasan kepada keluarga pasien mengenai prosedur yang akan dilakukan dan penandatanganan informed consent.
  2. Persiapan Media Kontras
    • Media kontras yang digunakan adalah yang berbahan iodium, dimana jumlahnya disesuaikan dengan berat badan pasien, yakni 1-2 cc/kg berat badan.
  3. Persiapan Alat dan Bahan
    1. Peralatan Steril
      • Wings needle No. 21 G (1 buah)
      • Spuit 20 cc (2 buah)
      • Kapas alcohol atau wipes
    2. Peralatan Un-Steril
      • Plester
      • Marker R/L dan marker waktu
      • Media kontras Iopamiro (± 40 – 50 cc)
      • Obat-obatan emergency (antisipasi alergi media kontras)
      • Baju pasien
    • Tourniquet
6. Prosedur Pemeriksaan BNO-IVP
  1. Lakukan pemeriksaan BNO posisi AP, untuk melihat persiapan pasien
  2. Jika persiapan pasien baik/bersih, suntikkan media kontras melalui intravena 1 cc saja, diamkan sesaat untuk melihat reaksi alergis.
  3. Jika tidak ada reaksi alergis penyuntikan dapat dilanjutkan dengan memasang alat compressive ureter terlebih dahulu di sekitar SIAS kanan dan kiri
  4. Setelah itu lakukan foto nephogram dengan posisi AP supine 1 menit setelah injeksi media kontras untuk melihat masuknya media kontras ke collecting sistem, terutama pada pasien hypertensi dan anak-anak.
  5. Lakukan foto 5 menit post injeksi dengan posisi AP supine menggunakan ukuran film 24 x 30 untuk melihat pelviocaliseal dan ureter proximal terisi media kontras.
  6. Foto 15 menit post injeksi dengan posisi AP supine menggunakan film 24 x 30 mencakup gambaran pelviocalyseal, ureter dan bladder mulai terisi media kontras
  7. Foto 30 menit post injeksi dengan posisi AP supine melihat gambaran bladder terisi penuh media kontras. Film yang digunakan ukuran 30 x 40.
  8. Setelah semua foto sudah dikonsulkan kepada dokter spesialis radiologi, biasanya dibuat foto blast oblique untuk melihat prostate (umumnya pada pasien yang lanjut usia). 
  9. Yang terakhir lakukan foto post void dengan posisi AP supine atau erect untuk melihat kelainan kecil yang mungkin terjadi di daerah bladder. Dengan posisi erect dapat menunjukan adanya ren mobile (pergerakan ginjal yang tidak normal) pada kasus pos hematuri.


7. Kriteria Gambar 
  1. Foto 5 menit post injeksi
    • Tampak kontras mengisi ginjal kanan dan kiri.
  2. Foto 15 menit post injeksi 
    • Tampak kontras mengisi ginjal, ureter.
  3. Foto 30 menit post injeksi (full blass)
    • Tampak blass terisi penuh oleh kontras 
  4. Foto Post Mixi 
    • Tampak blass yang telah kosong.


8. Perawatan Lanjutan
Tidak ada perawatan khusus yang diberikan kepada pasien setelah menjalani pemeriksaan BNO-IVP ini.
Catatan :
KELEBIHAN DAN KEKURANGAN IVP
  • Kelebihan 
    1. Bersifat invasif.
    2. IVP memberikan gambaran dan informasi yang jelas, sehingga dokter dapat mendiagnosa dan memberikan pengobatan yang tepat mulai dari adanya batu ginjal hingga kanker tanpa harus melakukan pembedahan
    3. Diagnosa kelainan tentang kerusakan dan adanya batu pada ginjal dapat dilakukan.
    4. Radiasi relative rendah 
    5. Relative aman


  • Kekurangan 
    1. Selalu ada kemungkinan terjadinya kanker akibat paparan radiasi yang diperoleh.
    2. Dosis efektif pemeriksaan IVP adalah mSv, sama dengan rata-rata radiasi yang diterima dari alam dalam satu tahun.
    3. Penggunaan media kontras dalam IVP dapat menyebabkan efek alergi pada pasien, yang menyebabkan pasien harus mendapatkan pengobatan lanjut. 
    4. Tidak dapat dilakukan pada wanita hamil.

sumber: http://catatanradiograf.blogspot.com/

Teknik Radiografi Skull (kepala)

1. PA dan PA Axial Projection (Cadwell)
  • Posisi pasien : 
    • Duduk tegak atau prone
    • Atur MSP pada pertengahan lysolm
    • Fleksikan lengan , atur agar posisi tangan senyaman mungkin. 
  • Posisi obyek : 
    • Atur kepala dan hidung agar menepel kaset dan MSP tegak lurus kaset
    • Atur OML agar tegak luruskaset, tahan nafas saat eksposi
  • CR : 
    • PA = tegak lurus kaset
    • Cadwell = 15 derajat ke caudad
  • CP : Glabella 
    • Untuk menampakkan superior orbital fissur, arahkan berkas sinar pada pertengahan kedua orbita sebesar 25 derajat ke caudad 
    • Untuk menunjukkan foramnen rotundum, arahkan berkas sinar pada nasion dengan penyudutan sebesar 25-30 derajat ke caudad. Metode water’s juga dapat dipergunakan untuk menampakkan foramen rotundum.
  • Struktur yg ditampakkan :  
    • PA : orbita terisi oleh bayangan piramid petrosum , posterior etmoidal air cell, crista galli, frontal bone, frontal sinus. Dorsum sellae tampak seperti kurva yang berada diantara 2 orbita tepat dibawah etmoid air cell.
    • PA Cadwell : hampir sama dengan PA, anterior etmoidal air cell Schuller yang pertama kali menemukan proyeksi ini, dengan penyudutan 24 deratajat ke caudad.

  • Kriteria Evaluasi : 
    • Jarak antara sisi lateral skull ke sisi lateral orbita sama pada kedua sisi.
    • Petrous ridge symetris
    • Tulang petrosum berada 1/3 bagian posterior foramen orbital apabila dilakukan penyudutan 15 derajat ke caudad.
    2. AP dan AP Axial Projection
    • Posisi pasien : Supine / duduk tegak 
    • Posisi obyek : 
      • atur MSP tegak lurus kaset 
      • atur OML tegak lurus kaset 
    • CR :
      • ap = tegak lurus 
      • ap axial = 10-15 derajat ke cephalad 
    • CP : 
      • nasion (AP axial) 
      • glabella (AP)
    • Untuk menampakkan frontal bone saja arahkan sinar-X pada pertengahan antara frontal tuberosity (eminance) dengan penyudutan ke caudad yang pararel dengan supraorbital line 
    • Struktur yang ditampakkan : Sama dengan proyeksi PA. TETAPI DALAM PROYEKSI AP ORBITAL MENGALAMI MAGNIFIKASI . 
    3. Lateral Projection
    • Klinis
      • Fracture
      • Neoplastic process
      • Paget's disease
      • Infeksi
      • Tumor
      • Degenerasi tulang
    • Persiapan pasien
      • Lepaskan semua bahan logam, plastik dan benda-benda lain yang dapat mengganggu gambaran pada daerah kepala
    • Persiapan alat
      • Kaset dan film ukuran 24 x 30 cm
      • Alat fiksasi
      • Grid/lysolm
    • Posisi pasien
      • Prone atau duduk tegak, recumbent, semiprone (Sim's) Position
    • Posisi objek
      • Atur kepala true lateralm dengan bagian yang akan diperiksa deka degan IR, tangan yang sejajar dengan bagian yang diperiksa berada di depan kepala dan bagian yang lain lurus di belakang tubuh.
      • Atur MSP paralel terhadap IR, pastikan tidak ada rotasi maupun tilting
      • Atur interpupilary line tegak lurus IR, pastikan tidak ada tilting pada kepala
      • Atur agar IOML // dengan IR
    • CR : tegak lurus terhadap IR
    • CP : 2 inch ke superior MAE
    • SID : min 100 cm
    • Tahan nafas pada saat eksposi
    • Catatan : pada pasien dengan posisi recumbent pemberian fiksasi di bawah dagu akan embantu agar posisi dapat true lateral
    • Struktur yang ditampakkan : bagian yang menempel dengan film ditampakkan dengan jelas. Sella tursika mencakup anterior dan posterior clinoid dan dorsum sellae ditampakkan dengan jelas.
    4. PA Axial (Cadwell Method)
    • Klnis : skull fracture (medial dan lateral displacement), neoplastic process dan paget's dissease
    • Posisi pasien : prone atau erect position
    • Posisi Obyek :
      • atur hidung dan os frontal menempel pada meja/permukaan bucky.
      • fleksikan leher agar OML tegak lurus IR, atur MSP tegak lurus pertengahan grid atau meja/permukaan bucky untuk menghindari rotasi atau tilting pada kepala.
    • CR : 15 derajat caudad menuju nasion
    • CP : os occipital menuju ke nasion 
    • FFD : 100 cm (40 inchi) 
    • Tahan nafas saat eksposi 
    • Catatan :
      • alternatif penyudutan sinar 25- 30 derajat ke caudad untuk dapat menunjukkan supra orbital fissure (tanda panah hitam) dan bagian inferior orbital. 
      • semakin kecil penyudutan arah berkas sinar ke caudad dan atau semakin besar sudut saat leher flexi maka pyramida petrous akan tampak pada bagian superior orbita. 
      • alternatif AP AXIAL PROJECTION : untuk pasien yang tidak dapat diposisikan PA (pada pasien trauma), proyeksi AP Axial dengan penyudutan 15 derajat ke cephalad dapat dilakuka dengan OML tegak lurus IR
    • STRUKTUR YANG DITAMPAKKAN : 
      • greater and lesser sphenoid wings, frontal bone, superior orbital fissure, frontal dan anterioor ethmoid sinuses, superior orbital margin, dan crista galli. 
      • PA dengan 25- 30 derajat caudad : tampak foramen rotundum pada masing-masing inferior orbital rim dan superior orbital fissure tampak dalam orbital. 
      • PA dengan 15 derajat caudad : pyramida petrouse tampak dikuadran 3 orbital, superior orbital margin tampak tidak superposisi.
    5. PA Axial (Haas Mehod)
    • Klinis : occipital bone, petrous pyramid, dan foramen magnum dengan dorsum sellae serta posterior clinoid tampak jelas.
      Pemeriksaan ini adalah pemeriksaan alternatif apabila pasien tidak dapat memflexikan leher mereka pada proyeksi TOWNE. Pemeriksaan ini menghasilkan gambaran occipital dengan magnifikasi yang lebih besar tetapi memberikan dosis radiasi yang lebih rendah pada daerah facial serta kelenjar thyroid. hal ini tidak diajurkan saat tulang occipital menjadi obyek utama karena magnifikasi yang lebih besar.
    • Posisi pasien : prone atau erect
    • Posisi obyek :
      • atur hidung dan os frontal menempel pada permukaan meja/bucky. 
      • fleksikan leher. Atur OML tegak lurus terhadap IR 
      • atur MSP kepala sejajar dengan pertengahan grid. - pastikan tidak ada rotasi/tilting (MSP tegak lurus terhadap IR)
    • CR : 25 derajat cephalad
    • CP : sinar menuju MSP melewati MAE 
    • FFD : 100 cm 
    • Tahan nafas saat eksposi 
    • Struktur Yang ditampakkan : occipital bone, petrous pyramid, dan foramen magnum, dengan dorsum sellae dan posterior clinoid tampak berada pada foramen magnum
    6.  AP Axial Projection (Towne Method)
    • Klinis : Pada pemeriksaan sella tursika metode ini dilakukan untuk menunjukkan adanya pituitary adenomas. 
      • Shielding : lindungi daerah leher ke bawah
    • Posisi Pasien : supine atau erect 
    • Posisisi obyek :
      • atur bagian kepala posterior menempel meja/permukaan bucky 
      • fleksikan leher agar IOML tegak lurus IR 
      • atur MSP tegak lurus midline grid atau meja/permukaan bucky.
    • CR : 
      • 30 derajat ke caudad apabila OML tegak lurus IR
      • 37 derajat ke caudad apabila IOML tegak lurus IR 
    • CP : 1,5 inchi (4 cm) superior glabella. 
    • Tahan nafas saat eksposi 
    • Struktur yang ditampakkan : dorsum sellae, anterior dan posterior clinoid process (tergantung pada CR angulation), foramen magnum, petrous ridge, dan occipital bone.
      • 37 derajat : dorsum sella dan posterior clinoid process tampak berada pada foramen magnum
      • 30 derajat : anterior clinoid tampak dengan jelas, jauh dari kedua petrous ridge, berada diatas foramen magnum, dorsum sellae tampak diatas foramen magnum, superimposisi dengan occipital bone.
    7. Lateral Position ( Right or Left Lateral Sella Tursica)
    • Klinis : Adenoma pituitary 
    • Teknik sama dengan lateral position skull seperti yang pertama dibahas, kecuali CP dan luas lapangan kolimasi yang diberikan. 
    • CP : ¾ inchi (2 cm) anterior dan ¾ inchi (2 cm) superior MAE 
    • Struktur yang ditampakkan :sella tursika, anterior dan posterior processus clinoideus, dorsum sellae dan clivus.
    8. Submentovertex (SMV)
    • Penting : harus diketahui adanya indikasi fracture pada tulang-tulang cervical atau subluxsasi pada pasien dengan kasus trauma sebelum pemeriksaan ini dilakukan.
    • Klinis : kelainan patologi tulang pada daerah basal (inner temporal bone structure), basal skull fracture
    • Posisi pasien : erect atau supine, posisi duduk biasanya lebih nyaman untuk pasien, dimana bucky stand vertical.
    • Posisi obyek :
      • hyperekstensikan leher hingga IOML // IR/permukaan bucky 
      • vertex menempel pada kaset 
      • atur MSP tegak lurus meja/permukaan bucky, pastikan tidak ada rotasi ataupun tilting. 
      • Note :
        • SUPINE : ekstensikan leher pasien dengan kepala berada ditepi meja, ganjal kaset dan grid. Apabila hal ini tidak mungkin dilakukan, maka ganjal tubuh pasien dengan menggunakan bantal sehingga pasien dapat mengekstensikan leher dan vertex menyentuh permukaan meja. 
        • ERECT : apabila pasien tidak dapat mengekstensikan leher secara maksimal, maka atur kepala agar IOML tegak lurus terhadap IR. Atur kemiringan IR sesuai dengan kemampuan ekstensi leher pasien. 
        • Posisi ini sangat tidak nyaman, sehingga usahakan agar pemeriksaan dilkakukan dengan waktu sesingkat mungkin
    • CR : Tegak lurus IOML 
    • CP : 4 cm inferior sympisis mentale setinggi MAE (pada pertengahan kedua angulus mandibula).
    • FFD : 100 cm 
    • Tahan nafas saat eksposi 
    • Struktur yang ditampakkan : arc zygomaticum.
    CONCLUSION :
    BASIC AND SPECIAL PROJECTION SKULL SERIES :

    BASIC : 

    1. AP Axial (Towne Methode)
    2. Lateral 
    3. PA Axial 15 derajat (Cadwell methode) atau PA Axial 25-30 derajat
    4. PA 
    SPESIAL : 
    1. Submentovertex (SMV) 
    2. PA Axial (Haas Methode)

    Jumat, 17 Januari 2014

    RADIOBIOLOGI

    Efek Radiasi Pengion terhadap Jaringan Tubuh


               Tubuh terdiri dari berbagai macam organ seperti hati, ginjal, paru dan lainnya. Setiap organ tubuh tersusun atas jaringan yang merupakan kumpulan sel yang mempunyai fungsi dan struktur yang sama. Sel sebagai unit fungsional terkecil dari tubuh dapat menjalankan fungsi hidup secara lengkap dan sempurna seperti pembelahan, pernafasan, pertumbuhan dan lainnya. Sel terdiri dari dua komponen utama, yaitu sitoplasma dan inti sel (nucleus). Sitoplasma mengandung sejumlah organel sel yang berfungsi mengatur berbagai fungsi metabolisme penting sel. Inti sel mengandung struktur biologic yang sangat kompleks yang disebut kromosom yang mempunyai peranan penting sebagai tempat penyimpanan semua informasi genetika yang berhubungan dengan keturunan atau karakteristik dasar manusia. Kromosom manusia yang berjumlah 23 pasang mengandung ribuan gen yang merupakan suatu rantai pendek dari DNA (Deooxyribonucleic acid) yang membawa suatu kode informasi tertentu dan spesifik.
    Interaksi antara radiasi dengan sel hidup merupakan proses yang berlangsung secara bertahap. Proses ini diawali dengan tahap fisik dan diakhiri dengan tahap biologik. Ada empat tahapan interaksi, yaitu :

    1. Tahap Fisik
               Tahap Fisik berupa absorbsi energi radiasi pengion yang menyebabkan terjadinya eksitasi dan ionisasi pada molekul atau atom penyusun bahan biologi. Proses ini berlangsung sangat singkat dalam orde 10-16 detik. Karena sel sebagian besar (70%) tersusun atas air, maka ionisasi awal yang terjadi di dalam sel adalah terurainya molekul air menjadi ion positif H2O+ dan e- sebagai ion negatif. Proses ionisasi ini dapat ditulis dengan :
    H2O + radiasi pengion  —>  H2O+ + e-

    2. Tahap Fisikokimia
             Tahap fisikokimia dimana atom atau molekul yang tereksitasi atau terionisasi mengalami reaksi-reaksi sehingga terbentuk radikal bebas yang tidak stabil. Tahap ini berlangsung dalam orde 10-6 detik. Karena sebagian besar tubuh manusia tersusun atas air, maka peranan air sangat besar dalam menentukan hasil akhir dalam tahap fisikokimia ini. Efek langsung radiasi pada molekul atau atom penyusun tubuh selain air hanya memberikan sumbangan yang kecil bagi akibat biologi akhir dibandingkan dengan efek tak langsungnya melalui media air tersebut. Ion-ion yang terbentuk pada tahap pertama interaksi akan beraksi dengan molekul air lainnya sehingga menghasilkan beberapa macam produk , diantaranya radikal bebas yang sangat reaktif dan toksik melalui radiolisis air, yaitu OH- dan H+. Reaksi kimia yang terjadi dalam tahap kedua interaksi ini adalah:
    H2O+ —-> H+ OH-
    H2O + e    –>    H2O-
    H2O- –> OH+ H+
    Radikal bebas OHdapat membentuk peroksida (H2O2 ) yang bersifat
    oksidator kuat melalui reaksi berikut :
    OH- + OH + —>  H2O2

    3. Tahap Kimia Dan Biologi
                Tahap kimia dan biologi yang berlangsung dalam beberapa detik dan ditandai dengan terjadinya reaksi antara radikal bebas dan peroksida dengan molekul organik sel serta inti sel yang terdiri atas kromosom. Reaksi ini akan menyebabkan terjadinya kerusakan-kerusakan terhadap molekul-molekul dalam sel. Jenis kerusakannya bergantung pada jenis molekul yang bereaksi. Jika reaksi itu terjadi dengan molekul protein, ikatan rantai panjang molekul akan putus sehingga protein rusak. Molekul yang putus ini menjadi terbuka dan dapat melakukan reaksi lainnya. Radikal bebas dan peroksida juga dapat merusak struktur biokimia molekul enzim sehingga fungsi enzim terganggu. Kromosom dan molekul DNA di dalamnya juga dapat dipengaruhi oleh radikal bebas dan peroksida sehingga terjadi mutasi genetik.

    4. Tahap Biologis
             Tahap biologis yang ditandai dengan terjadinya tanggapan biologis yang bervariasi bergantung pada molekul penting mana yang bereaksi dengan radikal bebas dan peroksida yang terjadi pada tahap ketiga. Proses ini berlangsung dalam orde beberapa puluh menit hingga beberapa puluh tahun, bergantung pada tingkat kerusakan sel yang terjadi. Beberapa akibat dapat muncul karena kerusakan sel, seperti kematian sel secara langsung, pembelahan sel terhambat atau tertunda serta terjadinya perubahan permanen pada sel anak setelah sel induknya membelah. Kerusakan yang terjadi dapat meluas dari skala seluler ke jaringan, organ dan dapat pula menyebabkan kematian.

    Dilihat dari interaksi biologi tadi di atas, maka secara biologis efek radiasi dapat dibedakan atas :

    1.  Berdasarkan jenis sel yang terkena paparan radiasi
             Sel dalam tubuh manusia terdiri dari sel genetic dan sel somatic. Sel genetic adalah sel telur pada perempuan dan sel sperma pada laki-laki, sedangkan sel somatic adalah sel-sel lainnya yang ada dalam tubuh.
    Berdasarkan jenis sel, maka efek radiasi dapat dibedakan atas :
    • Efek Genetik (non-somatik) atau efek pewarisan adalah efek yang dirasakan oleh keturunan dari individu yang terkena paparan radiasi.
    • Efek Somatik adalah efek radiasi yang dirasakan oleh individu yang terpapar radiasi. Waktu yang dibutuhkan sampai terlihatnya gejala efek somatik sangat bervariasi sehingga dapat dibedakan atas :
      • Efek segera adalah kerusakan yang secara klinik sudah dapat teramati pada individu dalam waktu singkat setelah individu tersebut terpapar radiasi, seperti epilasi (rontoknya rambut), eritema (memerahnya kulit), luka bakar dan penurunan jumlah sel darah. Kerusakan tersebut terlihat dalam waktu hari sampai mingguan pasca iradiasi.
      • Efek tertunda merupakan efek radiasi yang baru timbul setelah waktu yang lama (bulanan/tahunan) setelah terpapar radiasi, seperti katarak dan kanker.

    2.  Berdasarkan dosis radiasi
           Bila ditinjau dari dosis radiasi (untuk kepentingan proteksi radiasi), efek radiasi dibedakan atas efek stokastik danefek deterministic (non-stokastik).

    i. Efek Stokastik adalah efek yang penyebab timbulnya merupakan fungsi dosis radiasi dan diperkirakan tidak mengenal dosis ambang. Efek ini terjadi sebagai akibat paparan radiasi dengan dosis yang menyebabkan terjadinya perubahan pada sel. Radiasi serendah apapun selalu terdapat kemungkinan untuk menimbulkan perubahan pada sistem biologik, baik pada tingkat molekul maupun sel. Dengan demikian radiasi dapat pula tidak membunuh sel tetapi mengubah sel,  sel yang mengalami modifikasi atau sel yang berubah ini mempunyai peluang untuk lolos dari sistem pertahanan tubuh yang berusaha untuk menghilangkan sel seperti ini. Semua akibat proses modifikasi atau transformasi sel ini disebut efek stokastik yang terjadi secara acak. Efek stokastik terjadi tanpa ada dosis ambang dan baru akan muncul setelah masa laten yang lama. Semakin besar dosis paparan, semakin besar peluang terjadinya efek stokastik, sedangkan tingkat keparahannya tidak ditentukan oleh jumlah dosis yang diterima. Bila sel yang mengalami perubahan adalah sel genetik, maka sifat-sifat sel yang baru tersebut akan diwariskan kepada turunannya sehingga timbul efek genetik atau pewarisan. Apabila sel ini adalah sel somatik maka sel-sel tersebut dalam jangka waktu yang relatif lama, ditambah dengan pengaruh dari bahan-bahan yang bersifat toksik lainnya, akan tumbuh dan berkembang menjadi jaringan ganas atau kanker.
    Maka dari itu dapat disimpulkan ciri-ciri efek stokastik a.l :
    • Tidak mengenal dosis ambang
    • Timbul setelah melalui masa tenang yang lama
    • Keparahannya tidak bergantung pada dosis radiasi
    • Tidak ada penyembuhan spontan
    • Efek ini meliputi : kanker, leukemia (efek somatik), dan penyakit keturunan            (efek genetik).

    ii. Efek Deterministik (non-stokastik) adalah efek yang kualitas keparahannya bervariasi menurut dosis dan hanya timbul bila dosis ambang dilampaui. Efek ini terjadi karena adanya proses kematian sel akibat paparan radiasi yang mengubah fungsi jaringan yang terkena radiasi. Efek ini dapat terjadi sebagai akibat dari paparan radiasi pada seluruh tubuh maupun lokal. Efek deterministik timbul bila dosis yang diterima di atas dosis ambang(threshold dose) dan umumnya timbul beberapa saat setelah terpapar radiasi. Tingkat keparahan efek deterministik akan meningkat bila dosis yang diterima lebih besar dari dosis ambang yang bervariasi bergantung pada jenis efek. Pada dosis lebih rendah dan mendekati dosis ambang, kemungkinan terjadinya efek deterministik dengan demikian adalah nol. Sedangkan di atas dosis ambang, peluang terjadinya efek ini menjadi 100%.
    Adapun ciri-ciri efek non-stokastik a.l :
    • Mempunyai dosis ambang
    • Umumnya timbul beberapa saat setelah radiasi
    • Adanya penyembuhan spontan (tergantung keparahan)
    • Tingkat keparahan tergantung terhadap dosis radiasi
    • Efek ini meliputi : luka bakar, sterilitas / kemandulan, katarak (efek somatik)